MUSIK masih hingar-bingar dan berdentam keras di ruangan itu. Sebegitu kerasnya hingga gendang telinga ini serasa ditusuk-tusuk. Saya masih duduk di satu sudut bar yang cukup populer di Makassar bersama Max (28) --sahabat asal Biak, Papua. Kami berdua ditemani Ningsih, salah satu kekasih Max di bar itu. Entah, saya tak pernah menghitung ada berapa jumlah kekasih Max di sejumlah diskotek yang selalu dikunjunginya. Kata teman, di setiap diskotek, Max punya kekasih. Saya sudah pernah menuliskan pengalaman menemani Max. Lihat DI SINI.
"Dari mana?" tanyaku.
"Dari salat,"
"What? Apa saya tak salah dengar?”
”Tidak Bang. Saya serius.”
"Trus, kalau kamu salat, apa kamu tahu kalau profesi ini sangat jauh dari sikap salat itu?" tanyaku dengan sok moralis.
"Iya saya tahu. Tapi, saya tak punya pilihan. Tanpa beginian, saya dan anak saya akan makan apa?" tanyanya.
”Abang masih sering salat?” tanyanya.
”Saya lama tak salat,”
”Kenapa Bang?”
”Entahlah. Saya tahu itu penting. Tapi tubuh ini seolah kaku untuk salat,”
”Abang gak takut dosa?”
”Saya tak tahu apa itu dosa,”
”Ningsih takut dosa. Tapi, saya kan juga butuh hidup,” katanya
CATATAN:
Foto-foto diambil di satu tempat hiburan malam di Makassar
Credit to Yusran Darmawan a.k.a timur-angin
Lanjutannya...
Di kota Makassar ini, diskotek banyak berserakan di sekitar pelabuhan yang hiruk-pikuk. Keberadaan diskotek dan bar menjadi nadi warga kota, khususnya mereka yang lelah dengan rutinitas melelahkan di siang hari untuk mengumpulkan uang. Di tempat seperti ini, saya sering mengingat sosiolog Daniel Bell. Katanya, manusia punya kontradiksi. Di siang hari bekerja keras dan efisien demi uang, namun di malam hari, manusia bisa menghabiskan uang dengan mudahnya. ”Ini kontradiksi antara ekonomi dan budaya yang cenderung butuh pelepasan," kata Bell. Bagi saya, Bell hanya melihat para pengunjung bar atau diskotek. Ia tidak melihat bahwa bagi wanita seperti Ningsih, malam hari adalah arena untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dari pria hidung belang seperti Max.
Ini adalah pertama kalinya saya mengenal Ningsih. Kulitnya putih bersih, pertanda ia rajin merawat tubuh. Saya selalu menahan napas setiap melihat pakaiannya yang minim dan menampakkan keseksiannya. Kakinya menyembul. Dadanya membusung. Putih. Saya tak mau memandang ke arah dada itu. Rambutnya sebahu dan nampak terawat. Lurus memanjang dan menutupi lehernya yang jenjang.
Dandanannya jauh dari kesan menor, tanpa polesan di wajahnya yang putih. Dalam pelukan Max yang hitam legam itu, ia sesekali curi pandang ke arahku. Saya pun sesekali memandangnya, namun pandangan segera dialihkan ke sejumlah pria tua bangka yang tanpa malu berjoget di tengah bar tersebut. Saat Max pergi berbincang dengan seorang teman di situ, Ningsih lalu merapat. Tapi saya berusaha tetap menjaga jarak. Kami lalu berbincang.
Usianya baru 23 tahun, namun sudah menyandang status janda. Suaminya selingkuh dengan gadis lain, sehingga Ningsih nekad minta cerai. Anaknya lalu dititip pada orangtuanya, dan setiap bulan ia menyisihkan penghasilannya untuk biaya perawatan anaknya. Tanpa saya minta, ia terus berceloteh tentang jalan nasib yang tak pernah disangkanya. Tapi, ia menerimanya sebagai takdir yang tak terelakkan. Saya salut dengan keberaniannya menantang nasib. Setidaknya, ia bisa mandiri di tengah berbagai cibiran orang lain atas profesi yang sedang digelutinya.
Kami mulai akrab. Seakan mulai terbangun jembatan kesepahaman di antara kami. Saya tak mau latah membenci perempuan seperti Ningsih. Malam ini, saya memberanikan diri untuk menggenggam jemarinya yang sedingin es. Ia tersenyum riang saat sesekali menatap ke mata saya. Ia menghembuskan rokok ke wajah saya hingga beberapa kali terbatuk-batuk. Ia lalu cekikikan melihat tingkah saya.
Entah kenapa, kami tiba-tiba saja membahas tentang agama. Ia langsung bersemangat, namun tiba-tiba saja ia tersentak. Tema pembicaraan menjadi hambar. Ia gelisah dan sesekali melihat penunjuk waktu di lengannya. Sejurus kemudian, ia lalu minta izin beberapa menit untuk keluar ruangan. Sekitar 20 menit berikutnya ia datang. Wajahnya berseri dan nampak lebih cerah.
"Dari mana?" tanyaku.
"Dari salat,"
"What? Apa saya tak salah dengar?”
”Tidak Bang. Saya serius.”
”Jadi, kamu masih tetap menjaga salat?"
"Iya. Meski sering bolong-bolong, tapi saya tetap berusaha untuk salat selagi sempat," "Trus, kalau kamu salat, apa kamu tahu kalau profesi ini sangat jauh dari sikap salat itu?" tanyaku dengan sok moralis.
"Iya saya tahu. Tapi, saya tak punya pilihan. Tanpa beginian, saya dan anak saya akan makan apa?" tanyanya.
Saya lama terdiam sembari memainkan jemarinya. Saya tak mampu menjawab pertanyaan terakhirnya. Mungkin inilah yang disebut paradoks. Antara salat dan profesi sebagai ladys night di satu bar --yang setiap malam minum minuman beralkohol serta melayani nafsu pria seperti Max-- adalah dua sisi kutub yang saling berjauhan. Tapi, Ningsih tetap menjaga keduanya dengan seimbang. Bekerja di bar adalah ladang mencari nafkah. Namun, kewajiban salat tetap dijaganya, meskipun ia tahu konsekuensi dosa atas pekerjaannya. Tiba-tiba saja, saya jadi bertanya pada diri saya sendiri, apakah gerangan yang disebut dosa? Bisakah disebut dosa ketika seseorang memilih suatu profesi demi memberi kehidupan bagi manusia lain? Bukankah Ningsih sedang menyakiti dirinya sendiri dengan profesi itu?
”Abang masih sering salat?” tanyanya.
”Saya lama tak salat,”
”Kenapa Bang?”
”Entahlah. Saya tahu itu penting. Tapi tubuh ini seolah kaku untuk salat,”
”Abang gak takut dosa?”
”Saya tak tahu apa itu dosa,”
”Ningsih takut dosa. Tapi, saya kan juga butuh hidup,” katanya
Kembali saya terdiam. Saya lalu merenungi diri saya. Pertanyaan Ningsih adalah tudingan yang membuat saya tak berkutik. Mungkin, saya sudah terlampau jauh dari Tuhan sehingga sudah jarang menegakkan perintah-Nya. Mungkin saya terlampau jauh berjalan mengembara dan berkubang di ranah pemikiran berbagai ideologi, tanpa sempat menegakkan lagi pilar keyakinan yang saya peluk sejak kecil. Saya jauh tersesat.
Malam ini, Ningsih menjadi embun yang membasahi dasar hati saya yang kering. Sungguh saya tak menyangka bahwa di tempat yang hingar-bingar seperti ini, spiritualitas adalah sesuatu yang bisa ditemukan pada jiwa-jiwa yang memang mencarinya. Saya tak hendak mendefinisikan spirituaslitas sebagai setumpuk doktrin dan keyakinan yang harus dilaksanakan dengan patuh. Saya mendefinsikan spiritualitas sebagai mercusuar yang secara perlahan memandu seseorang untuk tetap menemukan jalan pedang kebenaran. Bagi perempuan seperti Ningsih, spiritualitas adalah sesuatu yang memandu gerak dan kejernihan memandang bahwa tetap saja ada yang disebut dosa, dan tetap saja ada yang disebut kebenaran. Dengan kesadaran utuh bahwa profesinya itu adalah dosa, ia sudah bertransformasi menjadi sosok yang sedang menggelapkan diri, namun tetap melihat setitik cahaya di seberang sana. Ia jauh lebih baik dari saya yang hingga kini tersesat di jalur gelap, tanpa melihat setitik cahayapun di seberang sana. Tanpa menjemakan pengetahuan itu ke ranah praktis.
Saya tak mau sok moralis. Namun, pepatah ”don’t judge the book from the cover” seakan menari-nari di depan mata saya. Mungkin selama ini saya terlampau rendah memandang perempuan seperti Ningsih. Padahal, di balik realitas itu, terdapat sosok yang tengah berjuang keras memberi kehidupan bagi tubuh kecil di seberang lautan sana. Di balik tubuh yang cantik itu, terselip sosok yang gigih mempertahankan keyakinannya, meskipun ia sendiri menyadari paradoks hidup tentang benar-salah atas apa yang dilakoninya. Malam ini, ia menjadi embun atas hati saya yang kering-kerontang. Malam ini ia menjadi guru yang mengatasi dahaga saya atas pencarian akan kebenaran.
Saya lalu memandang Ningsih dengan tersenyum. Ia lalu mengenggam jari saya dan merebahkan kepalanya ke pundak ini. Baunya harum menyengat. Saya kembali menahan napas dan memandang ke tengah-tengah bar itu. Saya melihat Max sedang berciuman di satu sudut. Ups....!! kembali saya alihkan pandangan saya.(*)
CATATAN:
Foto-foto diambil di satu tempat hiburan malam di Makassar
Credit to Yusran Darmawan a.k.a timur-angin